Pembacaan Susunan Roda Lokomotif Uap secara WHYTE
Lokomotif uap (steam locomotive, dampflok) dapat dikenali dari susunan rodanya. Ada dua metode yang umum dipakai untuk membaca susunan (arrangement) roda-roda pada lokomotif uap, yakni cara AAR (Association of American Railroad) dan pembacaan Whyte.Metode pembacaan berdasarkan susunan roda ini dibuat oleh Frederick Methvan Whyte (2 Maret 1865-1941) seorang insinyur mekanik asal Belanda yang bekerja untuk New York Central di Amerika Serikat . Frederick Methvan Whyte dikenal sebagai orang yang mengembangkan notasi Whyte untuk menggambarkan berbagai susunan roda dari lokomotif uap pada tahun 1900.
Berikut adalah ilustrasi pembacaan susunan roda lokomotif uap secara Whyte yang diunggah dari http://en.wikipedia.org/wiki/File:Locotypes.gif
ilustrasi notasi Whyte |
Ada sebuah lokomotif yang legendaris pada masa Hindia Belanda (Nederlandsch Indischë), yaitu lokomotif SS (Staatsspoorwegen) buatan 'Werkspoor' Belanda dengan pembacaan susunan Whyte 4-6-2 pada masa itu, lokomotif ini dinamai lokomotif C53 (2-C-1)
Lokomotif Staatsspoorwegen C53 (2-C-1) |
lokomotif tersebut di atas sangat melegenda pada masanya, pada spot KITLV.nl terlihat lokomotif 2-C-1(C53) sedang menghela rangkaian kereta 'Eendaagsche Express' kereta favorit Bung Karno
pandangan detail lokomotif 2-C-1(C 53)
2-C-1 bagian depan |
2-C-1 bagian tengah belakang |
lokomotif C53 setelah dipasang 'defector' (pemecah asap)
wajah C53 setelah ber-tébéng deflector |
konon tebeng deflector ini dipasang, 10 tahun stelah kedatangan pertama jenis lokomotif ini. Lokomotif C53 memiliki panjang 20792 mm dengan daya 1200 HP (horse power) dan berat 109,19 ton, serta dapat melaju dengan kecepatan hingga 90 km/jam didatangkan ke Indonesia pada periode keemasan kereta api di tanah air pada tahun 1918-1922
Jalur kereta api dari Jakarat (Batavia) ke Surabaya, dibuka secara resmi untuk layanan masyarakat oleh Staatsspoorwegen pada 1 November 1894, menjadi sebuah tonggak yang bersejarah dalam perkeretaapian nasional.
Tahap pertama dibuat jalur jalan kereta api dari Bogor ke Bandung via Sukabumi, yang selesai dikerjakan pada tanggal 17 Mei 1884 Setelah selesainya pembuatan jalur ini, dilanjutkan pembuatan jalur kereta api dari Bandung ke Cibatu, yang dapat diselesaikan pada tahun 1889. Dari Cibatu, kemudian diteruskan ke Tasikmalaya, yang dibuka untuk umum pada tanggal 16 September 1893. Jalur ini kemudian diteruskan pembangunannya sampai ke Banjar dan Maos, yang selesai pada tanggal 1 November 1894
Stasiun Cibatu didirikan pada tahun 1889 setelah diresmikannya jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Cicalengka dengan Cilacap oleh Staatsspoorwegen, maskapai kereta api milik Pemerintah Belanda. Pada tahun 1926 dibuka jalur baru yang menghubungkan Cibatu dengan Cikajang. Dari Cibatu, kemudian diteruskan ke Tasikmalaya, yang dibuka untuk umum pada tanggal 16 September 1893. Tanggal 1 November 1894 juga menandakan bahwa transportasi kereta api yang menghubungkan kota Bandung dengan kota Yogyakarta mulai dapat digunakan karena jalur kereta api rute Cilacap - Maos - Yogyakarta telah selesai dibangun pada tahun 1887.
terlihat rangkaian Eendaagsche Express melintasi jembatan Staatsspoorwegen petak Slamet Riyadi~Manggarai dihela sang legenda lokomotif C53 (2-C-1) |
Jembatan tersebut difoto 2 hari yang lalu, saat muka banjir masih cukup tinggi (23 Jan 2014) |
sayang sekali tidak ada kereta yang lewat, pengambilan foto berpacu dengan hujan (23 Jan 2014), dan medan yang sulit |
koleksi Koninklijk Instituut voor Tal-Land-en Volkenkunde (KITLV.nl) pada 1915 sudah memperlihatkan adanya jaringan kabel traksi Kereta Listrik |
Pemerintah Kerajaan Belanda membangun aneka bangunan pemerintahan, termasuk stasiun, seolah-olah kolonialisme akan hidup selama-lamanya di negeri jajahan. Ekonomi kerajaan Belanda akan runtuh tahun 1930-an saat zaman malaise (krisis ekonomi), dan kemudian makin hancur oleh okupasi Nazi Jerman masa Perang Dunia II.
Belanda benar-benar terobsesi mendirikan sebuah Emporium di Hindia timur (**baca : Indonesia), kita dapat melihat bangunan-bangunan era kolonial dibangun di kota-kota besar di Indonesia dikerjakan sebagai bentuk premium keterampilan arsitektur bangunan zamannya. Untuk melihat sisa-sisa kejayaan arsitektur kolonial itu, saya persilahkan berkunjung ke http://aabandema.blogspot.com/2014/01/kota-kirangan-dan-kota-semarang_21.html
Nah di bidang rekayasa perkeretaapian pun Belanda tak mau ketinggalan jamil, dua 'brand' mencorong waktu itu (tahun 1930~1936) 'Eendaagsche Express' dan di susul 'Java Naacht Express' merupakan dua layanan prestisius persembahan Staatsspoorwegen, dengan ekspektasi setara CIWL (Compagnie Internationale des Wagons-Lits) di Perancis, atau di Amerika Serikat pada masa kini adalah layanan kereta Acela nya Amtrak.
Layanan kereta mewah kelas dunia - CIWL sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:50_81_08-38_000-9_Mz1.jpg |
anda dapat membaca juga artikel tentang CIWL di http://aabandema.blogspot.com/2014/01/miniatur-kereta-api-arsitektur-ruang_18.html
kita dapat melihat bagaimana suasana interior kereta-kereta mewah tersebut
suasana interior kereta makan kelas eksekutif kereta api tahun 1936; sumber dari KITLV.nl |
atau videonya dapat anda saksikan
courtesy Youtube |
Eendaagsche Express mengawali perjalannya di tahun 1930-an terutama paska Jalur Kroja - Tjirebon sudah resmi dibuka oleh Staatsspoorwegen pada 1 Januari 1917, kemudian menyusul layanan 'Java Naacht Express' yang mulai beroperasi reguler sejak 1 November 1936 ini berangkat dari stasiun Jakarta Gambir menuju Surabaya Kota setiap malam dengan jadwal pemberangkatan pukul 21.00 dan tiba di stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 05.00. Pada era '60-an kedua layanan ini menjadi 'Express Bintang Fadjar' dan 'Express Bintang Sendja'.
Motto yang dikibarkan Eendaagsche Express saat itu adalah : layanan yang bisa membawa seseorang dari Soerabaja ke Batavia selama matahari masih bersinar - (Brian Hollingsworth dan A. E. Durrant)
Dengan obsesi ini Belanda mendatangkan lokomotif 4-6-2 empat silinder dengan daya 1200 HP (horse power) dan berat 109,19 ton, serta direkayasa dapat melaju dengan kecepatan hingga 90 km/jam yang kemudian kita kenal dengan lokomotif C-53. Namun apadaya Lokomotif ini ternyata jauh dari sempurna. Mulai dari proses perancangan dan pemilihan pabrik pembuatnya. Werkspoor sama sekali bukan nama terkenal dalam dunia pembuatan lokomotif uap. Pabrik inipun sebelumnya belum pernah berpengalaman dalam merancang lokomotif 4 silinder compound.
Namun Staatsspoorwegen sudah terlanjur menetapkan ekspektasinya, ingin menunjukkan pada dunia bahwa kemajuan teknologi rekayasa-nya di tanah Hindia timur tidak kalah maju dibandingkan dengan kawan-kawan Eropa-nya. Lokomitif yang sedianya dianggap sebagai "paradepaard", sebagai pembawa bendera SS yang paling hebat ternyata loyo. (Jaarverslag SS 1941, dalam Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd)
(H. de Jong, Locomotieven van Werkspoor)
Pemilihan sistem empat silinder compound semula dirancang untuk menghasilkan daya yang kuat dengan penggunaan bahan bakar yang hemat. Namun, sistem ini rentan terhadap jalan uap (sistem pipa-pipa dari ketel ke silinder) yang berkelok-kelok, yang praktis "mencekik" jalannya uap dan mengurangi potensial daya. Pada akhirnya, dengan tekanan uap yang lebih tinggi daripada lok manapun yang ada di Hindia Belanda saat itu (14 kg/cm² dibandingkan 12 kg/cm²), lok ini hanya mampu menghasilkan daya sekitar 1000 hp.
Wagon Slaapertruijk buatan Werkspoor yang kini direstorasi menjadi 'Djoko Kendil' |
4-GL compound express locomotief nr 1002, een "renpaard" van de Staatsspoorwegen op Java, gebouwd door Werkspoor Amsterdam, vermoedelijk in 1920 |
Pada kecepatan 90 km/jam, lokomotif ini sudah bergetar
tidak terkendali, dan pada tahun 1931 dilakukan percobaan dengan kecepatan 100
km/jam, lokomotif ini bergoncang keras. Namun demikian meskipun lok C53 dapat dikatakan sebagai 'produk gagal' yang mengalami kegagalan
teknis, secara estetik ia sama sekali bukan kegagalan. Model kabin lokomotif yang unik mengingatkan pada gaya eksotis lokomotif-lokomotif Italia. Lokomotif ini tetap
dipertahankan untuk menarik kereta expres dengan menanggung biaya perawatan
yang tidak sedikit. Pada periode tahun 1970, C53 yang tersisa hanya ditugaskan
untuk melayani kereta penumpang lokal atau kereta campuran barang dan penumpang
di Jawa Timur, seperti dari Surabaya ke Bangil, Madiun atau Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar